Salam
Sejarawan
Tentu dalam postingan awal kali ini memen akan
mencoba menguak tabir sebuah peristiwa sejarah, tentunya berdasarkan banyak
sumber yang telah memen peroleh. maka hendaknya memen ingin berbagi kepada
pembaca dengan apa yang telah memen baca nih, barangkali kita bisa saling
sharing atau berbagi ilmu bersama apa yang memen ketahui ataupun apa yang
pembaca jawara ketahui.
Dalam postingan kali ini, memen akan
berbagi pengetahuan mengenai kapan dan bagaimana awal mula peristiwa lahirnya
kerajaan-kerajaan di tanah Sunda? bagaimana peristiwa itu bisa terjadi dan
berbagai macam penjelasan tentang siapa saja pendiri kerajaan-kerajaan Sunda.
Seiring dengan rasa penasaran saya tentang satu
hal bahwa penulisan sejarah-sejarah yang ada di Jawa Barat atau ditanah Sunda
ini memang hanya sedikit dengan tingkat pembahasan yang jelas dan kompleks. hal
ini dikarenakan sejarah pulau Jawa ini selalu dikuasai dengan kehidupan
Istanasentris Orang-orang Jawa bagian tengah dan Timur disana. Maka dari itu,
perlunya kesadaran akan menumbuhkembangkan sejarah-sejarah tanah sunda ini
menjadi sebuah eksistensi yang tak kalah dengan sejarah lainnya. langsung saja
kita membahas mengenai awal mula berdirinya kerajaan pertama di tanah Sunda!
Kerajaan apa yang pertama kali didirikan di
Tanah Sunda?
Dalam Buku Sejarah Tatar Sunda karya Nina H.
Lubis mengutip sebuah pepatah lama yang berisikan: "Hana nguni hana
mangke, Tan hana nguni tan hana mangke" artinya, adanya masa dahulu
adanya masa kini, tidak adanya masa lalu tidak adanya masa kini. kata kata ini
mengindikasikan bahwa adanya jaman sekarang yang serba praktis telah melalui
sebuah fase peristiwa perjuangan di masa lalu.
Tatar Sunda adalah salah satu daerah di Pulau
Jawa bagian barat yang mendapat sentuhan dari ajaran budaya India,
terefleksikan dalam agama Hindu dan Siwa Buddha yang seiring berjalannya waktu
berubah menjadi sebuah tradisi berbagai unsur budaya setempat.
Sejauh ini, naskah-naskah yang patut dijadikan rujukan
dalam bahan penulisan ataupun referensi zaman, yakni naskah Pararaton, Kidung Sunda, Parahiyangan dan
Babad Tanah Jawi. Naskah lain yang
kandungan unsure sejarahnya cukup banyak adalah: Carita Ratu pakuan, Carita Waruga Jagat, Carita Purwaka Caruban Nagari,
dan Cariosan Prabu Siliwangi.
Naskah yang paling fenomenal dan banyak dijadikan rujukan biasanya terdapat
pada naskah Sanghiyang Siksakandang
Karesian.
Kerajaan Tarumanegara
Pusat kekuasaan
terbesar pertama di Tatar Sunda dan juga termasuk yang awal di Nusantara,
adalah Kerajaan Tarumanagara. Hingga sekarang, Raja Tarumanagara yang terkenal
dan yang dikenal adalah Purnawarman. Sumber tertulis yang memberitakan tentang
Tarumanagara adalah berita Cina, masing-masing berasal dari Fa-hsien tahun 414,
Dinasti Soui dan T’ang serta tujuh buah prasasti baru.[1]
Sumber asing tersebut mengatakan bahwa pada saat itu seorang Cina yang menjadi
biksu kembali dari ziarah ke India. Perahu yang ditumpanginya diterjang badai
sehingga terdampar di suatu tempat bernama Ye-po-ti.
Menurut pendeta yang bernama Fa-hsien itu, di Ye-po-ti hanya sedikit ditemukan orang beragama Buddha. Mereka umumnya
beragama brahmana, dan lebih banyak yang beragama kotor (animism, dinamism). Selanjutnya
berita dari Dinasti Soui antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 528 dan tahun
535, datang utusan dari To-lo-mo yang
terletak disebelah selatan. Sementara itu, sumber dari masa Dinasti T’ang juga
menyebutkan bahwa pada tahun 666 dan tahun 669 datang utusan dari To-lo-mo. Hanya saja, menurut sumber
terakhir itu To-lo-mo terletak di tenggara, diantara Ze-T’ou dan Tan-tan menuju
P’o-li. Pelafalan cina memperkirakan Ze-tou sebagai Patalung, dan P’o-li
disesuaikan dengan Bali. Rupanya dapat dipastikan bahwa To-lo-mo berada
dikawasan Tatar Sunda dan tidak salah jika sebutan To-lo-mo disesuaikan dengan Taruma(nagara)[2]
Kerajaan Taruma didirikan oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia wafat tahun 382 dan
dipusarakan ditepi Kali Gomati (Bekasi). Ia digantikan oleh puteranya,
Dharmawarman (382-395). Setelah wafat, digantikanlah oleh Purnawarman
(395-434). Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 M yang terletak
lebih dekat ke pantai dan dinamainya Sundapura.[3] Sunda sebagai nama Kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu di daerah bogor dan Sukabumi. Yang pertama terletak di daerah kampung pasir Muara, tidak jauh dari lokasi prasasti Telapak gajah peninggalan Purnawarman. Hanya beberapa meter dari tempat ditemukannya prasasti itu, ada pula dua buah prasasti lain yakni Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebonkopi.
Tarumanagara hanya
mengalami masa pemerintahan 12 orang raja berlangsung 358-669 dari Rajadirajagu Jayasingawarman sampai Raja Linggawarman.
Dalam tahun 669, Linggawarman raja Tarumanagara terakhir digantikan oleh
menantunya. Linggawarman mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama
Manasih menjadi isteri Tarusbawa. Yang kedua bernama Sobakancana menjadi istri
Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya. Dalam tahun 670 M
Tarusbawa pengganti mertuanya mengganti nama kerajaan tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda dan ini dimanfaatkan
oleh penguasa kerajaan Galuh Wretikandayun untuk memisahkan negaranya dari
kekuasaan Tarusbawa. Karena didukung oleh kerajaan Kalingga, akhirnya Wretikandayun menuntut kerajaan
dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M kawasan taruma dipecah
menjadi dua kerajaan yaitu: Kerajaan Taruma dan Kerajaan Galuh. Tarusbawa
kemudian mendirikan kerajaan baru dipedalaman dekat hulu Cipakancilan[4]
Berikut merupakan
raja-raja yang pernah berkuasa di Tarumanagara menurut naskah Wangsakerta:
1. Rajadirajagu Jayasingawarman
2. Dharmayawarman
3. Purnawarman
4. Wisnuwarman
5. Indrawarman
6. Candrawarman
7. Suryawarman
8. Kertawarman
9. Sudhawarman
10. Hariwangsawarman
11. Nagajayawarman
12. Linggawarman.
Hal menarik yang
dapat dilihat dari masing-masing nama raja diatas, setiap nama selalu
berakhiran dengan sebutan –warman. Hal ini mengindikasikan bahwa nama
berakhiran –warman ini menunjukan gelar para raja di kekuasaan Tarumanegara
yang berarti raja. Dalam sekian banyak raja yang pernah menjadi pemimpin kerajaan di Tarumanegara, sosok Purnawarman adalah yang paling terkenal di bumi tatar Sunda. hal ini dikarenakan pada banyak hasil temuan Arkeologi, filologi maupun alat bantu ilmu sejarah lainnya.
Selanjutnya ada Prasasti Tugu yang ditemukan di Dusun Batu Tumbuh, Jakarta Utara dan Prasasti Cidanghiang/Lebak yang ditemukan di Dusun Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang Banten. kedua Prasasti tersebut sama-sama juga menceritakan tentang keagungan dan kemuliaan Raja Purnawarman di masa kekuasaannya.
Selain itu, ada dua prasasti yang tidak terbaca. Prasasti Muara Cianten yang memuat tapak kaki, tidak terbaca karena ditulis dalam aksara ikal dan sudah sangat aus. Prasasti Pasir Awi mungkin sekali sebenarnya bukan prasasti, melainkan "gambar". Jika melihat wilayah pesebaran prasasti, dapat diperkirakan bahwa pengaruh kekuasaan Kerajaan Tarumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman, setidak-tidaknya mencakup sebagian wilayah Tatar Sunda. mulai dari kabupaten Pandeglang, Cisadane-Tanggerang di bagian barat, Kabupaten Bogor di bagian selatan, dan daerah Jakarta di bagian utara, daerah Bekasi dan Krawang di bagian Timur
Pusat kerajaan atau istana Tarumanegara hingga sekarang belum diketahui dengan pasti. Poerbatjaraka menempatkan Kerajaan Tarumanegara itu diantara daerah yang dialiri sungai Citarum, dan tanah di sebelah timur Cisadane, yaitu Karawang, Bogor dan Jakarta. bahkan dengan menguraikan kata (Chandrabhaga) yang terdiri dari dua kata masing-masing "chandra" dan "bhaga", akhirnya dipastikan bahwa pusat kerajaan itu tidak jauh dari sungai Bekasi.
Hasil dari
penemuan-penemuan itu antara lain berupa prasasti-prasasti peninggalan yang
banyak mengisahkan tentang kemuliaan, keagungan dan kebijaksanaan Raja
Purnawarman. sumber tersebut dapat ditemukan di daerah yang cukup berjauhan,
dari dusun Batu Tumbuh di Jakarta Utara, melalui daerah Ciampe, Bogor, dan ke
Cidanghiang di daerah Pandeglang Banten. ketujuh buah prasasti itu adalah
sebagai berikut:[5]
Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor)
terletak di pinggir Sungai Ciaruteun dekat muara Cisadane. Pada prasasti itu
terdapat lukisan laba-laba dan tapak kaki yang dipahatkan diatas aksaranya. Terdiri
dari empat baris, ditulisa dalam bentuk puisi India berirama anustubh. Dalam prasasti ini ada dua
tapak kaki yang disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu. Terjemahan dari
Transkripsi prasasti itu berbunyi:
“(Bekas) dua kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu itu adalah
kaki yang Mulia Sang Punawarman, raja di negeri Taruma, raja yang berani di
dunia.”
Prasasti Kebon Kopi terletak di Dusun
Muara Hilir, Cibungbulang, Prasasti itu bergambar dua tapak kaki gajah Airawata
dengan berbahasa sansekerta dengan aksara palawa. Terjemahan dari Transkripsi
prasasti itu berbunyi:
“Di sini Nampak sepasang tapak kaki …
yang seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam …
dan (?) Kejayaan”.
Prasasti Pasir Koleangkak terletak
disebuah bukit, termasuk daerah perkebunan karet Jambu, kecamatan Nanggung,
sekitar 30 km arah barat Bogor. Terjemahan dari Transkripsi prasasti itu
berbunyi:
“Gagah, mengagumkan, dan jujur
terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang taida taranya ~~ yang termahsyur
Sri Purnawarman~~ yang sekali waktu memerintah di Taruma dan baju zirahnya yang
terkenal (warman) tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak
kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para
pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.
Selanjutnya ada Prasasti Tugu yang ditemukan di Dusun Batu Tumbuh, Jakarta Utara dan Prasasti Cidanghiang/Lebak yang ditemukan di Dusun Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang Banten. kedua Prasasti tersebut sama-sama juga menceritakan tentang keagungan dan kemuliaan Raja Purnawarman di masa kekuasaannya.
Selain itu, ada dua prasasti yang tidak terbaca. Prasasti Muara Cianten yang memuat tapak kaki, tidak terbaca karena ditulis dalam aksara ikal dan sudah sangat aus. Prasasti Pasir Awi mungkin sekali sebenarnya bukan prasasti, melainkan "gambar". Jika melihat wilayah pesebaran prasasti, dapat diperkirakan bahwa pengaruh kekuasaan Kerajaan Tarumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman, setidak-tidaknya mencakup sebagian wilayah Tatar Sunda. mulai dari kabupaten Pandeglang, Cisadane-Tanggerang di bagian barat, Kabupaten Bogor di bagian selatan, dan daerah Jakarta di bagian utara, daerah Bekasi dan Krawang di bagian Timur
Pusat kerajaan atau istana Tarumanegara hingga sekarang belum diketahui dengan pasti. Poerbatjaraka menempatkan Kerajaan Tarumanegara itu diantara daerah yang dialiri sungai Citarum, dan tanah di sebelah timur Cisadane, yaitu Karawang, Bogor dan Jakarta. bahkan dengan menguraikan kata (Chandrabhaga) yang terdiri dari dua kata masing-masing "chandra" dan "bhaga", akhirnya dipastikan bahwa pusat kerajaan itu tidak jauh dari sungai Bekasi.
Namun
seperti yang dicatatkan dalam buku Menemukan Kerajaan Sunda karya Saleh
Danasasmita dikatakan bahwa pada saat Purnawarman berkuasa, Ia membangun
ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 M yang terletak lebih dekat ke pantai dan
dinamainya Sundapura.[6]
[1]
Nina H. Lubis, Sejarah Tatar Sunda jilid
I, Pertama kali diterbitkan Oktober 2003. Oleh Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran dan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, hlm. 52-53.
[2] Nina
H. Lubis, Sejarah Tatar Sunda jilid I, Pertama
kali diterbitkan Oktober 2003. Oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran dan Masyarakat Sejarawan
Indonesia Cabang Jawa Barat, hlm. 53.
[3]
Saleh
Danasasmita, Menemukan Kerajaan Sunda, Bandung:
PT Kiblat Utama,cetakan I, 2014, hlm. 13-14.
[4] Saleh Danasasmita, Menemukan Kerajaan Sunda, Bandung: PT
Kiblat Utama,cetakan I, 2014, hlm. 16-17.
[5] Nina H. Lubis, Sejarah Tatar Sunda jilid I, Pertama kali diterbitkan Oktober 2003. Oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran dan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, hlm. 54-59.
[6] Saleh Danasasmita, Menemukan Kerajaan Sunda, Bandung: PT Kiblat Utama,cetakan I, 2014, hlm. 13-14
[5] Nina H. Lubis, Sejarah Tatar Sunda jilid I, Pertama kali diterbitkan Oktober 2003. Oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran dan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, hlm. 54-59.
[6] Saleh Danasasmita, Menemukan Kerajaan Sunda, Bandung: PT Kiblat Utama,cetakan I, 2014, hlm. 13-14
0 komentar:
Posting Komentar