Misteri Sejarah Penamaan Pakuan Pajajaran

Kerajaan Pakuan Pajajaran

gambar 1. Istana Bogor yang memiliki nilai historis yang luhur

Sudah menjadi suatu ciri-khas dari kerajaan Sunda yang pada saat itu pusat pemerintahannya selalu berpindah-pindah. Hal ini tergantung pada berasal dari wilayah manakah raja yang ketika itu memerintah. Jika dilihat dari sudut politis, yakni bila kepala atau sang raja berasal dari sebelah timur Jawa bagian barat, maka bisa diharapkan ibukota tersebut berasal dari Kawali (Ciamis), namun bila raja tersebut berasal dari daerah bagian Barat (Sunda, Pajajaran) maka ibu kota tersebut akan kembali di Pakuan Pajajaran, sekitar wilayah Bogor sekarang.

Bila perpindahan pusat pemerintahan dilihat dari kultur budaya, baik di daerah Kawali, di Saunggalah, ataupun di Pakuan (Bogor). Maka, akan timbul suatu perpaduan budaya (akulturasi budaya) antara masyarakat Sunda di bagian Barat maupun bagian Timur, Dampak positifnya yakni dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Karena baik di daerah pakuan dan Galuh memiliki tradisi budaya yang berbeda. Bila orang Pakuan sering disebutkan sebagai orang gunung[1], sedangkan orang Galuh disebut sebagai orang air[2]. Bagai mitos buaya dan mitos harimau.

Menurut Hosein Djajadiningrat, Pakuan Pajajaran berdiri pada tahun 1433 di Pakuan sebelah barat Sungai Citarum daerah bogor sekarang. Mengenai asal muasal Nama Pakuan Pajajaran, yang telah dijelaskan oleh Sri Wintala Achmad melalui karyanya berjudul “Sejarah Perang Kerajaan-kerajaan di Nusantara”, dapat dilacak asal-usul dari arti pakuan yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran melalui para ahli serta naskah juga prasasti, dimulai sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja sampai kepada Ratu Nilakendra, meski sebagian besar bukan dari sumber sezaman yakni kredibilitasnya masih harus dipertanyakan, namun setidaknya memberikan gambaran pada saat itu, bagaimana penamaan tersebut terjadi.

Bila merujuk pada naskah Carita Waruga Guru (1750-an) yang ditulis dengan bahasa Sunda tersebut, menjelaskan bahwa nama Pakuan Pajajaran berdasarkan lokasi tersebut ditumbuhi banyak pohon Pakujajar.

Dalam buku De Batoe Toelis te Buitenzorg (1869), K.F. Holle menyebutkan, bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampong bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki kesamaan nama. Di sana ditemukan banyak pohon paku. Jadi menurut Hole, nama pakuan berkaitan dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar (op rijen staande pakoe bomen).
Dalam Encylopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919, G.P. Rouffaer menjelaskan, bahwa pakuan mengandung pengertian “paku”. Akan tetapi, harus diartikan “paku jagat” (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar ”pakubuwana” dan ”paku alam”. Pakuan menurut Rouffaer setara dengan Maharaja. Kata “Pajajaran” diartikan sebagai berdiri sejajar atau imbangan (sejajar dengan Majapahit)

Dalam tulisan De Batoe-Tulis bij Buitenzorg (1921), R. Ng. Poerbatjaraka menjelaskan, bahwa kata “Pakuan” mestinya berasal dari bahasa Jawa kuna ”pakwwan” yang kemudian dieja ”pakwan” (prasasti batu tulis). Pakwan berarti kemah atau istana. Jadi pakuan Pajajaran menurut Poerbatjaraka berarti “istana yang berjajar”.

Dalam tulisannya Verkenningen Rondom Padjajaran, H. Ten Dam menjelaskan, bahwa pakuan memiliki hubungan dengan “lingga” (tonggak) batu yang terpancang disebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan, ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahiyangan disebut-sebut tokoh Haluwesi dan Susuktunggal yang dianggap memiliki pengertian “paku”.

H. Ten Dam berpendapat, bahwa “pakuan” bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibu kota yang harus dibedakan dari keraton. Kata pajajaran ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690), dimana Wikler memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak di antara “sungai besar” dan “Sungai Tanggerang” (sekarang dikenal dengan sungai Ciliwung dan Cisadane).

H Ten Dam menarik kesimpulan, bahwa nama Pajajaran muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi pakuan Pajajaran dalam pengertian beliau ialah Pakuan di Pajajaran atau Dayeuh Pajajaran. Pakuan Pajajaran dapat ditemukan pada nomor 1 dan 2 di prasasti Batutulis, sedangkan nomor 3 dapat ditemukan di Prasasti Kebantenan di Bekasi.

Baik dalam kutipan H. Ten Dam, K.F. Holle, G.P. Rouffaer, dan R. Ng. Poerbatjaraka maupun prasasti disini, tidak dijelaskan secara rinci mengapa kerajaan tersebut dinamakan Pakuan Pajajaran meskipun memang kerajaan tersebut diapit oleh dua sungai yang berjajar maupun disekitarnya banyak dikelilingi oleh pohon Pakujajar. Apakah memang pohon “pakuan” ini memiliki falsafah tersendiri sehingga dijadikan nama sebuah kerajaan di Tatar Sunda atau agar nama kerajaan ini mudah diingat oleh masyarakat luas pada saat itu hingga sekarang.

Berikut raja-raja yang pernah duduk berkuasa di tampuk pemerintahan Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Nama Raja
Tahun
Ibu kota
Sri Baduga Maharaja
1482-1521
Pakuan
Surawisesa
1521-1535
Pakuan
Ratu Dewata
1535-1543
Pakuan
Ratu Saksi
1543-1551
Pakuan
Ratu Nilakendra[3]
1551-1567
Pakuan
Nusiya Mulya[4]
1567-1579
Pandeglang (Banten)

Pada masa berakhirnya kerajaan tersebut. Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan pajajaran ke Keraton Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan kembali penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah putera Sri Baduga Maharaja, raja kerajaan Sunda.

Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas keraton Surasowan di Banten. masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri sama seperti artinya dengan kata Sriman

Demikian sekilas penjelasan tentang asal muasal dipakainya nama resmi Pakuan Pajajaran serta nama raja-raja yang pernah memimpin tampuk pemerintahan setelah kerajaan runtuh di akhir abad ke 16 atau lebih tepatnya ditahun 1501 Saka/ 1579 M.


Tema berikutnya akan dibahas mengenai perbedaan tentang pem-priodisasian nama-nama kerajaan yang hakikatnya masih satu kerajaan yakni kerajaan Sunda Pajajaran.

Hatur Nuhun dan Terima gajih :)




                                                                   

Daftar Pustaka

Achmad, Sri Wintala. 2018, Sejarah Perang kerajaan-kerajaan di Nusantara, Yogyakakarta: Araska.

Lubis, Nina H., Sejarah Tatar Sunda jilid I, Pertama kali diterbitkan Oktober 2003. Oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran dan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.

Naskah carita Parahyangan, 1580.

Danasasmita, Saleh, 2014, Menemukan Kerajaan Sunda, Bandung: PT Kiblat Utama, Cetakan I.

Poerbatjaraka, R. Ng. 1952. Riwayat Indonesia, jilid I.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pakuan_Pajajaran diakses pada tanggal 21 Januari 2018.





[1] Orang gunung yang berarti memandang bahwa alam diwilayah pedalaman atau di pegunungan merupakan hal yang sakral dan wajib untuk menghormati alam berupa sesembahan atau sesajen demi keberlangsungan kelestarian alam, dari karakter warganya pun someah atau lemah lembut
[2] Orang air yang berarti melihat bahwa wilayah pesisir merupakan hal yang harus dijaga kelestariannya, biasanya ini dilakukan oleh para nelayan yang rutinitas dalam kesehariannya mencari ikan dilaut. Masyarakat lama pada saat itu biasanya melakukan ritual atau adat istiadat dengan melempar kepala kerbau ke laut sebagai symbol penghormatan kepada yang menjaga ekosistem laut dan keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, khususnya di daerah Galuh tersebut. dari Karakter warganya pun terkadang keras dan terkesan diluar zona nyaman
[3] Meninggalkan Pakuan karena serangan pasukan Hasanudin di Banten
[4] menghadapi masa akhir kerajaan Sunda ini, dikisahkan bahwa Raja Nusiya Mulya dimasa jabatannya hanya hidup bersenang-senang hingga datang serangan dari Demak dan Cirebon.

0 komentar:

Posting Komentar